Senin, 06 Oktober 2014

Para Muslimah Muda Di Amerika Serikat Tengah Gandrung Pada Hijab. Dengarlah Kisah Sana Rashid
Wanita-wanita cantik ini semua berhijab. Riuh meriung di sebuah restoran. Lalu, bergaya dengan rupa-rupa aksi di depan kamera. Jepret. Foto-foto itu kemudian menyebar ke seluruh dunia begitu cepat lewat media sosial. Instragram dan Facebook. Berhijab, mereka terlihat cantik, modis, permai di mata dan tentu saja tetap santun.
Para wanita muda itu bukan di Dubai, tapi di New York, kota di Amerika Serikat yang nyaris tak pernah mengaso. Dan berhijab kini menjadi trend di kalangan wanita muda muslimah di negeri itu. Kecenderungan itulah yang ditangkap Sana Rashid, yang kemudian menekuni dunia feysen muslim. Dan dia memulai dari dirinya sendiri. Saban hari berhijab.
Berhijab di negeri seperti Amerika Serikat memang mudah-mudah susah. Mudah karena memang bebas dipakai alias tak ada larangan. Susah, karena ada saja anggapan bahwa muslimah selalu hidup dalam keterpaksaan. Termasuk soal berhijab. Anak-anak muda ini membantah anggapan itu dengan cara mereka sendiri dan paling gampang. Berhijab dengan ceria dan tampil trendy.
"Saya melakukan semua sesuai keinginan saya," tegas Rashid sebagaimana ditulis New York Daily. Perempuan 31 tahun ini memang penyuka hijab. Akun media sosial Instagram dan Facebook penuh dengan foto-foto hijabnya.
Saking gandrungnya, muslimah kelahiran Pakistan ini aktif mempromosikan hijab melalui blog. Bukan sekedar bergaya. Lewat blog yang dibuat awal 2013 itu, Rashid ingin semua orang tahu betapa indahnya kehidupan muslimah.
"Saya ingin mereka melihat, inilah saya, seorang perempuan muslim, saya punya kehidupan yang normal," tuturnya.
Menjadi Hijaber di Keriuhan New York
Meski tumbuh di keluarga muslim, Rashid memang tidak berhijab sejak kecil. Tak ada arahan dari kedua orangtua. Apalagi ibunya juga tidak berhijab. Rashid baru memakai busana muslim itu ketika berusia 19 tahun. "Berhijab adalah ide saya sendiri," tambah lulusan fakultas farmasi ini.
Untuk mengurangi tekanan, Rashid punya siasat. Sebisa mungkin tak menggunakan hijab hitam. Sebab, warna hitam punya konotasi negatif bagi masyarakat Barat. Hijab hitam kerap diidentikkan dengan aliran garis keras.
“Pada umumnya masyarakat suka memakai hijab hitam tapi ketika seorang muslimah mengenakannya dia tertekan,” kata dia. Tafsiran negatif itu pula yang membuat Rashid tampil modis. Pakaian favoritnya, celana modis--terkadang mengenakan jin, kemeja sutra oranye yang agak longgar dipadu dengan hijab sutra biru.
Rashid bukan satu-satunya penggila hijab di New York. Muslimah lain adalah Nailah Lymus, yang juga seorang desainer busana muslim. Lymus mengakui bahwa hijab berkembang pesat di AS, khususnya New York. “Ada dampak industri busana muslimah dari tahun ke tahun,” tutur dia.
Busana rancangan Lymus selalu memadukan pola dengan warna-warna cerah. Dia selalu menampilkan rancangan-rancangan ciamik saat menggelar pameran busana muslimahnya.
Dalam berpakaian, Lymus pun tak pernah meninggalkan hijab. Berbagai bentuk penutup kepala telah dia coba. Sesekali dia memakai jilbab tradisional yang menutup rapat bagian rambut, telinga, leher, dan bahkan dada. Pada kesempatan lain dia mengikatkan kerudungnya sebagai sorban tebal yang menutupi kepala, namun membiarkan bagian lehernya terlihat.
Lain cerita dengan Husna Haq. Perempuan yang berhijab sejak usia sembilan tahun ini nyaris melepasnya karena merasa tertekan. Terutama setelah pembajakan pesawat yang kemudian ditabrakkan ke gedung World Trade Center atau WTC.
Namun Haq mencoba bertahan di bawah kecurigaan sekelilingnya. Dia berusaha selalu ramah dengan orang lain. Satu trik lagi, setiap hari dia memakai hijab yang berbeda warna. Lama-kelamaan kecurigaan masyarakat kepadanya luntur juga.

0 komentar:

Posting Komentar

my style © 2013 | Powered by Blogger | Blogger Template by DesignCart.org